Latar Belakang Penelitian
Pelajaran sastra di sekolah tidak untuk membuat siswa menjadi seorang sastrawan atau seorang ahli sastra, melainkan ingin menanamkan apresiasi sastra. Pelajaran sastra mengarahkan agar siswa menjadi orang yang menggemari karya sastra, mau membaca sendiri karya sastra sehingga dapat menyerap nilai-nilai terutama nilai moral yang terkandung dalam karya sastra. Tujuan pengajaran sastra seperti di atas belum tercapai seperti yang diharapkan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut ialah guru, murid, dan lingkungan. Faktor dari guru sebagai penyebab rendahnya kemampuan apresiasi sastra dapat dimungkinkan karena kurangnya pemahaman guru terhadap sastra, kurang optimalnya proses belajar mengajar, dan kurangnya penugasan pada anak untuk membaca karya sastra.
Faktor siswa merupakan faktor terpenting dalam proses pembelajaran sastra. Siswa merupakan subjek pada proses pembelajaran sastra. Faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya apresiasi sastra siswa adalah rendahnya kemampuan membaca. Rendahnya kemampuan membaca disebabkan karena kurangnya kebiasaan membaca. Dengan demikian, kemampuan membaca terutama membaca pemahaman diduga mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan kemampuan apresiasi sastra siswa. Kemampuan apresiasi sastra selain diperoleh melalui kegiatan membaca pemahaman, juga didasari oleh sikap positif terhadap bahasa yang dimiliki siswa. Sayangnya tidak semua siswa memiliki sikap bahasa yang positif.
Berdasarkan pengamatan dan penggunaan bahasa siswa sehari-hari ditemukan kenyataan pemakaian bahasa Indonesia siswa yang campur aduk dengan bahasa Jawa. Hal tersebut diduga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memahami karya sastra Indonesia. Pembelajaran sastra Indonesia di sekolah-sekolah di Indonesia sering dikritik sebagai pembelajaran yang belum berjalan seperti yang diharapkan. Kritikan tersebut berdasarkan adanya kenyataan bahwa tingkat apresiasi sastra para siswa rendah.
Rumusan Masalah
- Adakah hubungan antara kemampuan membaca pemahaman dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek?
- Adakah hubungan antara sikap bahasa dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek?
- Adakah hubungan kemampuan membaca pemahaman dan sikap bahasa secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek?
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Se-Gugus Yudistira, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, bulan Januari sampai dengan Juni 2009. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif korelasional. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri Se-Gugus Yudistira, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri.
Sampel berjumlah 120 orang yang diambil dengan cara simple random sampling. Instrumen untuk mengumpulkan data adalah tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek, tes kemampuan membaca pemahaman, dan kuesioner sikap bahasa.
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik statistik regresi dan korelasi (sederhana, ganda).
Hasil analisis menunjukkan bahwa:
- Ada hubungan positif antara kemampuan membaca pemahaman dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek (r y.1 = 0,87 pada taraf nyata α = 0,05 dengan N= 120 di mana r t = 0,18); 15
- Ada hubungan positif antara sikap bahasa dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek (r y.2 = 0,78 pada taraf nyata α = 0,05 dengan N= 120 di mana r t = 0,18); dan
- Ada hubungan positif antara kemampuan membaca pemahaman dan sikap bahasa secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi ceita pendek (R y.12 =0,86 pada taraf nyata α = 0,05 dengan N= 120 di mana r t = 0,18).
Kesimpulan
Dari hasil penelitian di atas dapat dinyatakan bahwa secara bersama-sama kemampuan membaca pemahaman dan sikap bahasa memberikan sumbangan yang berarti kepada kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat menjadi prediktor yang baik bagi kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
Dilihat dari kuatnya hubungan tiap variabel prediktor (bebas) dengan variabel respons (terikat), hubungan antara kemampuan membaca pemahaman dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara sikap bahasa dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca pemahaman dapat menjadi prediktor yang lebih baik daripada sikap bahasa. Kenyataan ini membawa konsekuensi dalam pengajaran kemampuan mengapresiasi cerita pendek, guru perlu lebih memprioritaskan aspek kemapuan membaca pemahaman dalam mengembangkan kemampuan mengapresiasi cerita pendek daripada aspek sikap bahasa.